Mahasiswa Sejarah USU Soroti Urgensi Revisi Sejarah Nasional dan Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Medan, Instrumentasi.com – Puluhan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) memadati Pendopo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) pada Selasa, 18 Juni 2025, dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Revisi Sejarah Nasional Indonesia dan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto: Layak atau Tidak?”

Kegiatan ini diselenggarakan oleh komunitas Lapak Baca Sejarah dan menghadirkan dua pemantik dari kalangan mahasiswa sejarah, yakni Kenny Brata Pelawi dan Alkautsar Refanda. Diskusi dipandu oleh moderator Fifbri Al Bukhori S.

Acara yang terbuka untuk umum ini menjadi wadah kritik dan refleksi atas bagaimana sejarah nasional ditulis, siapa yang memiliki kuasa dalam penyusunannya, serta dampak narasi sejarah terhadap pembentukan identitas bangsa dan keadilan bagi korban sejarah.

Dalam paparannya, Kenny Brata menekankan bahwa sejarah Indonesia selama ini banyak ditulis oleh pihak yang berkuasa dan sarat akan kepentingan politis.

Ia menyoroti narasi tunggal yang cenderung mengabaikan penderitaan kelompok minoritas, seperti etnis Tionghoa dan korban tragedi 1965. “Apakah pemerintah dapat menjamin bahwa penulisan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) tidak menjadi alat propaganda kekuasaan?” tanyanya.

Sementara itu, Alkautsar Refanda menegaskan pentingnya menulis ulang sejarah secara dinamis dan kritis, dengan tetap berpijak pada metodologi ilmiah yang kuat.

Menurutnya, pelurusan sejarah bukan sekadar urusan masa lalu, tetapi juga tanggung jawab terhadap masa depan. “Apa yang tidak kita luruskan hari ini akan menjadi luka warisan bagi generasi mendatang,” ungkapnya.

Diskusi berlangsung hangat dan penuh antusiasme. Sejumlah peserta menyampaikan pandangan mereka, termasuk pengalaman pribadi sebagai bagian dari keluarga korban peristiwa 1965, kritik terhadap narasi sejarah yang bias, serta isu kekerasan terhadap perempuan yang kerap diabaikan dalam sejarah arus utama.

Mahasiswa sejarah, Rozy, turut mengutip teori sosiolog Anthony Giddens tentang struktur dan kehendak bebas masyarakat. Ia menekankan pentingnya masyarakat menulis sejarahnya sendiri, alih-alih hanya menerima narasi yang dibentuk oleh negara.

Isu kontroversial mengenai wacana pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto turut menjadi sorotan.

Bahkan sebagian peserta menilai wacana tersebut sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan oligarki dan upaya “mencuci dosa” masa lalu, khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru. “Gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada sosok yang patut diteladani, bukan kepada tokoh yang masih menyisakan luka dalam sejarah bangsa,” ujar salah satu peserta.

Diskusi ini menunjukkan bahwa mahasiswa tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga nalar kritis, keberpihakan pada kebenaran sejarah, dan penolakan terhadap narasi tunggal yang hegemonik. Acara ditutup dengan seruan untuk terus memperjuangkan sejarah yang adil, pluralistik, dan berpihak pada kemanusiaan. (RDS)Medan, Instrumentasi.com – Puluhan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) memadati Pendopo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) pada Selasa, 18 Juni 2025, dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Revisi Sejarah Nasional Indonesia dan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto: Layak atau Tidak?”

Kegiatan ini diselenggarakan oleh komunitas Lapak Baca Sejarah dan menghadirkan dua pemantik dari kalangan mahasiswa sejarah, yakni Kenny Brata Pelawi dan Alkautsar Refanda. Diskusi dipandu oleh moderator Fifbri Al Bukhori S.

Acara yang terbuka untuk umum ini menjadi wadah kritik dan refleksi atas bagaimana sejarah nasional ditulis, siapa yang memiliki kuasa dalam penyusunannya, serta dampak narasi sejarah terhadap pembentukan identitas bangsa dan keadilan bagi korban sejarah.

Dalam paparannya, Kenny Brata menekankan bahwa sejarah Indonesia selama ini banyak ditulis oleh pihak yang berkuasa dan sarat akan kepentingan politis.

Ia menyoroti narasi tunggal yang cenderung mengabaikan penderitaan kelompok minoritas, seperti etnis Tionghoa dan korban tragedi 1965. “Apakah pemerintah dapat menjamin bahwa penulisan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) tidak menjadi alat propaganda kekuasaan?” tanyanya.

Sementara itu, Alkautsar Refanda menegaskan pentingnya menulis ulang sejarah secara dinamis dan kritis, dengan tetap berpijak pada metodologi ilmiah yang kuat.

Menurutnya, pelurusan sejarah bukan sekadar urusan masa lalu, tetapi juga tanggung jawab terhadap masa depan. “Apa yang tidak kita luruskan hari ini akan menjadi luka warisan bagi generasi mendatang,” ungkapnya.

Diskusi berlangsung hangat dan penuh antusiasme. Sejumlah peserta menyampaikan pandangan mereka, termasuk pengalaman pribadi sebagai bagian dari keluarga korban peristiwa 1965, kritik terhadap narasi sejarah yang bias, serta isu kekerasan terhadap perempuan yang kerap diabaikan dalam sejarah arus utama.

Mahasiswa sejarah, Rozy, turut mengutip teori sosiolog Anthony Giddens tentang struktur dan kehendak bebas masyarakat. Ia menekankan pentingnya masyarakat menulis sejarahnya sendiri, alih-alih hanya menerima narasi yang dibentuk oleh negara.

Isu kontroversial mengenai wacana pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto turut menjadi sorotan.

Bahkan sebagian peserta menilai wacana tersebut sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan oligarki dan upaya “mencuci dosa” masa lalu, khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru. “Gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada sosok yang patut diteladani, bukan kepada tokoh yang masih menyisakan luka dalam sejarah bangsa,” ujar salah satu peserta.

  • Diskusi ini menunjukkan bahwa mahasiswa tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga nalar kritis, keberpihakan pada kebenaran sejarah, dan penolakan terhadap narasi tunggal yang hegemonik. Acara ditutup dengan seruan untuk terus memperjuangkan sejarah yang adil, pluralistik, dan berpihak pada kemanusiaan. (RDS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *