Samosir, Instrumentasi.com- Tong sampah berwarna mencolok yang diletakkan di bawah gapura masuk kawasan Pantai Pasir Putih Parbaba kini menuai kecurigaan. Masyarakat setempat menilai pemasangan tong tersebut bukan bagian dari upaya penataan, melainkan modus awal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Samosir untuk secara diam-diam mengklaim kepemilikan kawasan wisata yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun.
Aksi pemasangan yang terjadi pada Rabu pagi (2/7/2025) terlihat dilakukan secara terburu-buru, tanpa sosialisasi atau dialog dengan warga. Dua petugas tampak meletakkan tong sampah bertuliskan “Kleen” tepat di pos masuk Parbaba yang dibangun pemerintah beberapa tahun lalu. Namun, simbolisasi ini berdiri sendiri—tidak ada penertiban, tidak ada perbaikan fasilitas, dan tidak ada kejelasan status lahan.
“Kami tidak bodoh. Ini bukan penataan, ini trik. Tong sampah itu hanya pintu masuk untuk merebut kendali kawasan yang sudah kami kelola puluhan tahun,” kata Esmi Sitanggang, pelaku usaha wisata Parbaba.
Menurut Esmi, sejak lama warga tidak pernah menolak kehadiran pemerintah, bahkan retribusi resmi tetap mereka bayarkan. Namun, langkah tiba-tiba menempatkan simbol-simbol negara di atas tanah warisan leluhur tanpa musyawarah dinilai sebagai bentuk klaim sepihak.
“Kami buka usaha di sini dengan modal pinjaman bank, tanpa bantuan siapa pun. Tanah ini warisan nenek moyang kami, di sinilah kami hidup. Pemerintah baru muncul setelah kawasan ini maju,” tegasnya.
“Jika Parbaba jatuh ke tangan yang salah, itu bukan sekadar kehilangan destinasi wisata, tapi pengkhianatan terhadap sejarah, budaya, dan kehidupan masyarakat Samosir,” pungkas Esmi.
Sikap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Samosir semakin disorot setelah diketahui tidak adanya penjelasan resmi mengenai status penataan. Padahal, surat pemberitahuan penertiban telah dikeluarkan sejak pertengahan Juni, dengan batas waktu 30 Juni.
Selain itu, Esmi menjelaskan, surat mengenai penataan batas waktunya 30 Juni, mereka RDP hari ini, aneh tidak? Duluan surat penataan keluar baru mereka RDP, dan RDP itu tidak melibatkan pelaku wisata, imbuhnya.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samosir kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas Parbaba, tanpa melibatkan pelaku usaha lokal sebagai pihak terdampak langsung. Dalam rapat yang dihadiri Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Satpol PP, serta ahli tata ruang itu, masyarakat merasa dikesampingkan dan dilecehkan secara politis.
“Apa gunanya rapat berulang kalau suara warga tidak pernah didengar? Jangan cuma bicara penataan dari balik meja. Di sini kami bertahan hidup,” ujar Bina, warga yang mengelola warung wisata di kawasan tersebut.
Bina juga membeberkan bahwa sebagian warga telah memiliki sertifikat hak atas tanah, sementara lainnya memegang dokumen lama seperti besluit. Namun, keberadaan bukti-bukti tersebut seolah diabaikan. Ia juga menjelaskan bahwa sepanjang Objek wisata pasir putih Parbaba adalah perkampungan yang telah dihuni secara turun-temurun.
Dalam surat undangan resmi RDP tertanggal 25 Juni yang ditandatangani Ketua DPRD Samosir, nama pelaku usaha atau tokoh masyarakat Parbaba tidak tercantum. Ini memperkuat dugaan bahwa kebijakan yang diambil hanya melibatkan elit birokrasi, tanpa partisipasi rakyat.
Padahal sebelum dilaksanakan RDP di Kantor DPRD Samosir, pada bulan Mei lalu ada surat dari dinas, dan anehnya surat tersebut ditandatangani Sekdakab, adapun isi surat tersebut mengenai penataan kawasan objek wisata pasir putih Parbaba.
Masyarakat kini menilai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak sedang melakukan penataan, tetapi berupaya mengambil alih kawasan strategis wisata dengan cara bertahap—dimulai dari simbol kecil seperti tong sampah, lalu diikuti legitimasi administratif.
“Kalau tong sampah bisa jadi dasar klaim pemerintah, maka setiap rumah kami bisa diklaim hanya karena ada bendera,” kata seorang warga lain dengan nada sinis.
Kondisi infrastruktur Parbaba pun tak berubah: akses jalan masih belum memadai, kawasan tersebut selama ini hanya ditata oleh warga setempat dan tidak ada perhatian dari pemerintah. Tong sampah yang dipasang tak digunakan, hanya menjadi ornamen di pintu masuk. Padahal Pemkab Samosir memungut retribusi, ujarnya.
Informasi lain yang didapatkan dari warga setempat menyebutkan bahwa adanya klaim objek wisata pasir putih Parbaba dari Pemkab Samosir. Mereka menilai tindakan Pemkab Samosir itu bentuk kearoganan, yang jelasnya kami disini telah menciptakan lapangan pekerjaan, ungkap Bina.
Warga berharap pemerintah menghentikan pendekatan simbolis dan mulai membangun komunikasi transparan. Penataan kawasan wisata seharusnya melibatkan warga sebagai pemilik sah dan subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan dan korban klaim sepihak.
Sesuai RPD, tampak ketua DPRD bersama kepala Dinas Kebudayaan dan Parawisata mendatangi objek wisata itu, mereka tampak melintas saja. Tanpa ada berinteraksi dengan pengelola objek wisata pasir putih Parbaba.(PS)