Menggema Dari Tano Batak Seruan Gereja Dan Masyarakat Sipil Desak Tutup TPL di Tano Batak

Laguboti, Instrumentasi.com- Suara lantang dari gereja dan masyarakat sipil menggema dari ruang pertemuan Hotel Serenauli, Laguboti, Senin (14/7/2025). Dalam acara peluncuran buku “Jeritan Bona Pasogit” dan konsolidasi gerakan ekologi, lebih dari 150 orang menyerukan penutupan permanen PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dianggap merusak lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat di kawasan Danau Toba.

Kegiatan yang digagas oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan United Evangelical Mission (UEM) itu dihadiri oleh tokoh gereja, lembaga keumatan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, petani, serta komunitas Masyarakat Adat. Mereka sepakat bahwa keberadaan PT TPL tidak hanya menimbulkan krisis ekologi, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.

Dalam pernyataan sikap resmi yang dibacakan pada akhir acara, pimpinan-pimpinan gereja se-Sumatera Utara meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk menghentikan secara permanen operasional PT TPL. Mereka juga mendesak pemerintah agar memastikan hak-hak buruh PT TPL dipenuhi sesuai peraturan perundang-undangan.

Tak hanya itu, gereja menyerukan kepada Gubernur Sumatera Utara dan para kepala daerah serta DPRD di sekitar kawasan Danau Toba agar bersatu bersama rakyat menuntut penutupan perusahaan pulp dan kertas itu.

Pastor Walden Sitanggang membacakan pernyataan sikap dengan nada tenang namun tegas. Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya soal teknis, melainkan soal iman. “Ketika tanah dijarah, air dicemari, dan udara dikotori demi keserakahan kapital, maka gereja tidak boleh diam,” ujarnya.

Data dari Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara mencatat bahwa hingga 2010, hanya tersisa sekitar 12 persen hutan dari 356.800 hektare kawasan Danau Toba. Kini, krisis ekologis kian memburuk. Lahan kritis meluas, produktivitas pertanian menurun, nelayan kehilangan hasil tangkapan, hingga stunting dan pencemaran air Danau Toba meningkat tajam.

Pdt. Dr. JP. Robinsar Siregar, M.Th, selaku penyusun buku “Jeritan Bona Pasogit” menyebutkan bahwa buku tersebut merupakan dokumentasi penderitaan masyarakat akibat ekspansi industri HTI PT TPL. Ia menyebut bahwa suara-suara perempuan dan komunitas adat menjadi bukti nyata dampak eksploitasi yang selama ini ditutupi.

Arie Rompas dari Greenpeace menyoroti jaringan bisnis PT TPL yang terhubung dengan Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto. Menurutnya, PT TPL merupakan bagian dari skema perusahaan bayangan yang menggunakan banyak nama untuk menghindari tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan.

Dalam sambutannya, Alfian dari PGI menyatakan bahwa gereja tidak boleh tinggal diam menghadapi krisis ekologi. Ia menegaskan bahwa PGI bukan pelaksana program, tetapi pemantik keterlibatan kolektif gereja. “Kami menyurati gereja-gereja di Sumatera Utara agar terlibat aktif dalam perjuangan melawan perusakan ciptaan Tuhan,” kata Alfian.

Pdt. Firman Sibarani, M.Th, secara lantang menyatakan bahwa tanah Tapanuli bukan untuk dijarah, melainkan diwariskan. “Pemerintah seharusnya melindungi rakyat, bukan menyerahkannya kepada korporasi. Jika ingin damai dan hidup sejahtera, maka PT TPL harus ditutup,” tegasnya.

Prof. Dr. Posma Sibuea menambahkan bahwa krisis ekologi menuntut perubahan pola hidup. Ia menyerukan transformasi konsumsi dan produksi, serta penghormatan terhadap alam sebagai wujud iman ekologis.

Acara ini menjadi ruang berbagi cerita, kesaksian, riset ilmiah, serta kemarahan kolektif yang terpendam. Dari hotel sederhana di Laguboti, suara rakyat dan gereja menyatu menjadi tuntutan moral dan spiritual untuk menyelamatkan tanah leluhur Batak dari kehancuran.

Buku “Jeritan Bona Pasogit” yang disusun sejak Maret 2025 menjadi simbol perlawanan dan harapan. Meskipun belum mencakup semua wilayah terdampak, buku ini menggambarkan luka ekologis yang dalam dan mendesak untuk disembuhkan.

Kegiatan ini menunjukkan bahwa gerakan menuntut keadilan ekologis telah menyatukan berbagai elemen masyarakat lintas iman dan profesi. Gereja tidak lagi diam. Masyarakat tidak lagi sendiri.

Dengan satu suara, mereka berkata: Tano Batak bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk diwarisi dan dilestarikan. (PS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *