Lahan Digarap Warga, Bangunan Berdiri di Kawasan Hutan Lindung Baniara, KPH XIII Akui Masih Berstatus Lindung dan Termasuk Areal PT TPL

Samosir, Instrumentasi.com — Kawasan hutan lindung di Dusun Baniara, Desa Partungko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, diduga kuat telah mengalami alih fungsi secara ilegal.

Sejumlah bangunan permanen seperti vila, pondok, hotel, hingga tugu ditemukan berdiri kokoh di atas lahan yang menurut informasi masih berstatus sebagai kawasan hutan lindung.

Lokasi tersebut juga disebut-sebut masuk dalam areal kerja PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan pemegang izin konsesi pengelolaan hutan tanaman industri.

Temuan ini mencuat setelah muncul laporan dari masyarakat dan hasil investigasi lapangan yang menunjukkan adanya aktivitas pembangunan tanpa izin di kawasan tersebut.

Sorotan publik kian tajam usai peristiwa kebakaran lahan yang terjadi di lokasi itu pada 18 Juni 2025 dan menyebar luas melalui media sosial.

Peristiwa kebakaran ini menjadi pemicu perhatian masyarakat terhadap dugaan penguasaan serta alih fungsi kawasan hutan lindung yang diduga dilakukan secara diam-diam.

Sejumlah permasalahan di Dusun Baniara mencuat pasca-ditetapkannya wilayah adat berdasarkan Keputusan Bupati Samosir Nomor 781 Tahun 2021.

Namun hingga kini belum diketahui secara pasti apakah UPTD KPH XIII dilibatkan dalam proses identifikasi, verifikasi, atau pemetaan wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah adat oleh Pemerintah Kabupaten Samosir.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat UPTD KPH XIII Doloksanggul, Toga P. Sinurat, membenarkan bahwa lokasi Dusun Baniara masih tergolong kawasan hutan lindung.

“Benar, lokasi itu berstatus hutan lindung dan berada di dalam areal pengelolaan PT TPL,” ujar Toga saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kamis (19/6/2025).

Toga menambahkan, pihaknya turun langsung ke lokasi pada 18 Juni 2025 setelah menerima laporan masyarakat terkait kebakaran lahan di kawasan tersebut.

“Saat kami turun ke lokasi, saya sendiri menyaksikan adanya patok kayu bernomor yang telah ditancapkan di lokasi itu,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Toga mengaku menerima banyak laporan masyarakat melalui pesan singkat WhatsApp yang menyebutkan adanya aktivitas penggarapan lahan dan pembangunan tanpa izin.

Ia menyebut pihaknya kerap menindaklanjuti laporan tersebut dengan menyurati PT TPL agar segera melakukan pengamanan dan penertiban di areal konsesinya.

“Tanggung jawab utama berada pada pihak pengelola kawasan, dalam hal ini PT TPL. Kami berharap mereka bertindak sesuai dengan mandat dan izin yang diberikan,” tegasnya.

Dalam penanganan kasus ini, Toga mengatakan bahwa UPTD KPH XIII telah beberapa kali terlibat dalam proses mediasi yang dilakukan bersama pihak kepolisian dan Pemerintah Kabupaten Samosir.

Ia juga menyarankan agar pihak-pihak yang berkepentingan melakukan koordinasi langsung ke kantor UPTD KPH XIII untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

“Penjelasan batas kawasan tidak bisa hanya dijelaskan dengan kata-kata. Harus dilihat langsung pada peta kawasan hutan resmi. Kami terbuka jika ada yang ingin mengakses data tersebut,” tutup Toga.

Hal senada disampaikan oleh Kepala UPTD KPH XIII Doloksanggul, Esra Sardina Sinaga.“Benar, Dusun Baniara di kiri-kanan jalan lintas masih berstatus hutan lindung. Pada 1 Juni 2023, kami telah menyurati Kepala Desa Partungko Naginjang agar memberitahukan kepada Lembaga Ompu Ulosan untuk menghentikan aktivitas tanpa izin di dalam kawasan hutan negara,” tegas Esra.

Ia menambahkan, karena areal tersebut termasuk wilayah kerja PT TPL, pihaknya telah mendesak perusahaan tersebut untuk mengamankan wilayah konsesinya sesuai ketentuan yang berlaku.

“Gangguan terhadap kawasan hutan yang dikelola sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT TPL kepada Menteri Kehutanan,” ujarnya.

Menurut Esra, UPTD KPH XIII bukanlah pemberi izin pengelolaan sehingga pengawasan menjadi kewenangan instansi yang mengeluarkan izin tersebut.

“Sebagai perpanjangan tangan di tingkat tapak, kami hanya bisa menyarankan agar pengelola segera melaporkan aktivitas tersebut ke aparat penegak hukum,” tambahnya.

Ia kembali menegaskan bahwa batas kawasan hutan tidak bisa dijelaskan secara lisan, melainkan harus mengacu pada peta kawasan resmi yang dimiliki oleh instansi kehutananan. (PS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *