Samosir, Instrumentasi.com-Belakangan, istilah “naik kelas” kerap muncul di percakapan warga, baik di media sosial maupun grup WhatsApp. Bahkan, ada pejabat struktural, seperti Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang mengumumkan klaim tersebut secara terbuka kepada publik.
Pernyataan itu memang terdengar menarik. Namun, menurut Dr. Wilmar Eliezer Simanjorang, pertanyaan mendasar perlu diajukan: siapa sebenarnya yang berwenang menyatakan sebuah daerah telah “naik kelas”? Apakah setiap pejabat publik boleh menyampaikannya tanpa dasar resmi dan data yang sahih?
Wilmar menegaskan, istilah “naik kelas” tidak dikenal dalam terminologi resmi pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penilaian kinerja pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme evaluasi teknokratis yang objektif, seperti Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang dievaluasi Kementerian Dalam Negeri. Tidak ada nomenklatur resmi yang menyebut suatu kabupaten atau kota dapat “naik kelas” sebagaimana layaknya siswa sekolah.
Dengan demikian, istilah itu hanyalah ekspresi sosial yang sifatnya simbolik, bukan administratif. Setiap penggunaan istilah seperti itu, kata Wilmar, harus berbasis data yang sah, disampaikan oleh otoritas berwenang, dan melalui saluran komunikasi resmi.
Kinerja Daerah Harus Diukur, Bukan Diklaim
Menurut Wilmar, kemajuan suatu daerah tidak bisa disimpulkan hanya dari kesan atau narasi individu. Penilaian harus didasarkan pada indikator objektif, di antaranya:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD),
2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
3. Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan,
4. Opini audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Reformasi Birokrasi dari Kementerian PAN-RB
Evaluasi terhadap indikator tersebut dilakukan oleh lembaga berwenang seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, Bappenas, BPK, dan lembaga independen terakreditasi.
“Jika tidak melalui evaluasi resmi dan data tervalidasi, klaim ‘naik kelas’ hanyalah opini pribadi yang tidak memiliki bobot hukum maupun administratif,” ujarnya.
Selain itu, Wilmar juga mengingatkan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, tugas Dinas Kominfo adalah menyebarluaskan informasi pemerintahan dan pelayanan publik. Kepala Dinas Kominfo bertindak sebagai penghubung komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, bukan sebagai penilai capaian makro pemerintah daerah
Dengan demikian, Kadis Kominfo tidak memiliki dasar hukum maupun kewenangan administratif untuk menyatakan daerahnya telah “naik kelas”. Jika klaim itu disampaikan tanpa data dan otorisasi resmi dari kepala daerah atau lembaga penilai, maka tindakan tersebut melampaui kewenangan dan berpotensi menyesatkan publik, sebut Wilmar.
Dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pejabat publik terikat pada prinsip akuntabilitas, netralitas, profesionalisme, dan integritas.
Mereka tunduk pada Kode Etik PNS sebagaimana diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2004, yang mewajibkan bertindak jujur, objektif, dan berorientasi pada kepentingan publik. Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan agar informasi disampaikan secara faktual, tidak menyesatkan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak hanya itu, Wilmar pun menekankan bahwa komunikasi publik bukan sekadar menyampaikan pesan positif, tetapi harus berbasis data, transparan, dan proporsional. Pejabat publik, terutama di bidang komunikasi pemerintahan, harus memahami batas kewenangan dan menjaga integritas pesan yang disampaikan.
“Kemajuan daerah layak diapresiasi jika didukung data dan diakui lewat evaluasi resmi. Tetapi jika klaim disampaikan tanpa landasan hukum dan otoritas jelas, itu tindakan prematur yang dapat menyesatkan masyarakat,” pungkasnya.
Ia menegaskan, kredibilitas pemerintah daerah diukur bukan hanya dari capaian pembangunan, tetapi juga dari cara pemerintah menyampaikannya kepada rakyat. (PS)












