Samosir, Instrumentasi.com —Kegiatan budaya bertajuk Tao Toba Jou-Jou yang direncanakan berlangsung di Kabupaten Samosir pada 25–27 Juli 2025 menuai kritik dari sejumlah tokoh masyarakat. Mereka menilai, nama kegiatan tersebut tidak tepat, bernuansa negatif, dan tidak mencerminkan nilai luhur budaya Batak Toba.
Mantan Penjabat Bupati Samosir, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, menyatakan bahwa pemilihan istilah jou-jou tidak relevan dengan kearifan lokal. Ia juga menyoroti keberadaan hadiah undian (doorprize) dalam kegiatan itu yang dinilainya tidak sejalan dengan esensi kebudayaan Batak.
“Lebih baik kegiatan ini ditunda dan konsepnya dikaji ulang. Budaya bukan sekadar tontonan, melainkan harus dihidupi dan dimaknai,” tegas Wilmar.
Menurutnya, istilah jou-jou dalam konteks Batak adalah seruan sakral, bukan panggilan biasa. Ia menggambarkannya sebagai ajakan spiritual dari leluhur kepada generasi muda agar tidak melupakan jati diri dan kampung halaman.
“Tao Toba Jou-Jou bukan sembarang panggilan, melainkan suara leluhur agar kita sadar dan bertindak menjaga warisan budaya,” lanjutnya.
Ketua Forum Komunikasi Tokoh Masyarakat (FKTM) Samosir, Obin Naibaho, juga meminta agar nama kegiatan diubah. Menurutnya, istilah jou-jou dalam percakapan sehari-hari masyarakat Batak sering diasosiasikan dengan nada yang kasar atau tidak sopan.
“Judul ini menimbulkan kesan negatif. Banyak warga merasa risih. Sebaiknya gunakan diksi yang lebih arif dan mampu membangkitkan semangat pelestarian budaya,” ujar Obin pada Kamis (24/7/2025).
Ia menambahkan, pemilihan nama dalam kegiatan budaya sangat penting karena membawa pesan dan memengaruhi citra daerah di mata publik.
Tokoh masyarakat lainnya, Efendy Naibaho, menyoroti waktu pelaksanaan kegiatan yang dianggap tidak peka terhadap kondisi kekeringan dan krisis air bersih yang sedang melanda Samosir.
“Jika dana kegiatan ini bersumber dari APBD atau APBN, alangkah baiknya dialihkan untuk membantu warga yang mengalami kesulitan air. Budaya memang penting, tetapi harus peka terhadap realitas sosial,” imbuhnya.
Mantan anggota DPRD Sumatera Utara itu juga mengingatkan bahwa kegiatan budaya seharusnya menyentuh kepentingan masyarakat, bukan sekadar menjadi hiburan semata.
“Pelestarian budaya jangan menjadi acara seremonial kosong. Harus ada nilai edukatif dan filosofi yang disampaikan,” tambah Efendy.
Warga dari Kecamatan Pangururan dan Simanindo pun menyatakan kebingungan terhadap makna istilah jou-jou. Mereka mengaku tidak memahami maknanya dan menilai istilah tersebut tidak menggambarkan tujuan dari kegiatan budaya itu.
Di media sosial, gelombang kritik bermunculan. Sejumlah pengguna Facebook dan Instagram mempertanyakan makna kata tersebut, dan menilai panitia kurang melibatkan tokoh budaya dalam penyusunan konsep acara.
“Kalau ingin mempromosikan budaya, mengapa tidak menggunakan istilah yang membangkitkan rasa bangga?” tulis salah satu warganet.
Banyak yang menyarankan agar panitia lebih melibatkan budayawan dan tokoh adat, khususnya dalam pemilihan nama dan tema kegiatan.
Menurut mereka, kegiatan budaya harus menjadi ruang edukasi dan pelestarian nilai-nilai Batak, bukan sekadar tontonan yang minim makna.
Efendy kembali menekankan pentingnya pendekatan yang tepat dan bijak dalam setiap agenda kebudayaan, terlebih di Samosir yang selama ini dikenal sebagai pusat peradaban Batak.
“Budaya bukan sekadar soal musik dan joget, tapi tentang nilai, kesadaran, serta penghormatan kepada para leluhur,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar kegiatan ini ditunda dan diganti dengan doa bersama untuk memohon hujan, mengingat kondisi kekeringan yang masih berlangsung.
Lebih jauh, Efendy juga menyoroti kurangnya transparansi anggaran kegiatan. Ia mendorong aparat penegak hukum untuk memeriksa dan mengaudit penggunaan dana kegiatan tersebut.
“Kami akan melaporkan anggaran kegiatan ini kepada aparat penegak hukum,” tegasnya.
Para tokoh masyarakat berharap panitia mempertimbangkan ulang konsep serta nama acara tersebut. Mereka mendorong agar kegiatan budaya dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih arif, sensitif terhadap kondisi sosial, dan mencerminkan jati diri Batak secara utuh.
“Kegiatan budaya seharusnya menyentuh hati masyarakat, bukan sekadar menjadi ajang kemeriahan sesaat,” pungkas mereka. (PS)