Samosir, Instrumentasi.com — Warga Desa Parbalohan dan Desa Pardomuan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, sudah dua tahun terakhir tidak bisa menanam padi akibat rusaknya saluran irigasi Aek Natonang-Lontung. Irigasi yang sebelumnya mengairi lebih dari 200 hektare sawah ini mengalami kerusakan parah pada bagian lining (pelapis beton), sehingga aliran air terputus total.
Saluran irigasi tersebut dibangun pada tahun anggaran 2014 dan menjadi andalan para petani dalam mengairi lahan pertanian. Namun, sejak mengalami kerusakan dua tahun lalu, belum ada langkah perbaikan serius dari pemerintah daerah maupun provinsi.
Menurut Tommy Nainggolan, tokoh masyarakat Desa Parbalohan, kerusakan tersebut berdampak langsung pada aktivitas pertanian warga. Selain Parbalohan dan Pardomuan, irigasi itu juga seharusnya mendistribusikan air hingga ke Desa Tanjungan melalui sistem pintu air yang terintegrasi.
“Sudah dua tahun kami tidak bisa menanam padi. Air dari Aek Natonang tidak mengalir karena lining rusak dan tidak diperbaiki. Sawah jadi kering, petani berhenti berproduksi,” kata Tommy, Jumat (19/7/2025).
Harapan sempat muncul ketika tim dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara datang melakukan survei ke lokasi pagi tadi. Namun, kata Tommy, hasil kunjungan itu justru menambah kekecewaan warga.
“Mereka datang, tapi setelah kami jelaskan bahwa lining sudah ambruk dan air tidak sampai ke sawah, mereka hanya bilang anggarannya cuma Rp90 juta. Mereka malah menyarankan agar proyeknya dipindahkan ke lokasi lain,” ungkapnya.
Menurut Tommy, sikap itu mencerminkan kurangnya kepedulian terhadap nasib petani lokal. Ia menilai, proyek infrastruktur pertanian seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.
“Kami tidak minta macam-macam. Ini soal kebutuhan dasar. Air irigasi untuk sawah. Kalau ini dibiarkan, dari mana petani hidup?” tegasnya.
Ia menambahkan, para petani sudah berulang kali mengusulkan perbaikan melalui kepala desa dan kelompok tani. Namun, belum ada tindak lanjut yang nyata selain survei singkat dari tim provinsi.
Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi irigasi rusak berat. Dinding beton roboh di berbagai titik, saluran tertimbun tanah, dan ditumbuhi rumput liar. Di bagian hilir, aliran air terputus sepenuhnya.
Sebagian petani mencoba beralih ke tanaman palawija seperti jagung dan singkong, tetapi hasilnya tidak mencukupi. Mereka pun sangat bergantung pada hujan yang tidak selalu turun tepat waktu.
“Kami tanam jagung dan ubi, tapi hasilnya sedikit. Tidak cukup untuk makan dan biaya sekolah anak,” keluh Maraden, seorang petani dari Pardomuan.
Sementara itu, aparat desa menyebutkan bahwa usulan perbaikan irigasi sudah diajukan lewat Musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten, namun tidak pernah direspons.
“Setiap tahun kami ajukan lewat Musrenbang, tapi tak pernah masuk program. Mungkin karena kami desa kecil,” ujar salah satu perangkat Desa Pardomuan.
Petani juga mempertanyakan mengapa anggaran Rp90 juta tidak digunakan untuk perbaikan bertahap daripada memindahkan proyek ke tempat lain.
“Kami heran, kenapa harus pindah lokasi? Bukankah lebih bijak memperbaiki yang sudah ada? Apa harus demo dulu supaya didengar?” tambah Tommy.
Kondisi ini menjadi ironi mengingat Samosir dikenal sebagai salah satu lumbung padi di kawasan Danau Toba. Jika infrastruktur pertanian terus dibiarkan rusak, ketahanan pangan daerah terancam.
Tommy dan warga berharap, Pemkab Samosir dan Pemprov Sumut segera mengambil langkah nyata memperbaiki irigasi tersebut.
“Jangan cuma datang foto-foto lalu pergi. Kami butuh perbaikan, bukan kunjungan seremonial. Ini soal perut rakyat,” pungkasnya. (PS)Dua Tahun Irigasi Aek Natonang Rusak, Ratusan Hektare Sawah Terbengkalai
Samosir, Instrumentasi.com — Warga Desa Parbalohan dan Desa Pardomuan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, sudah dua tahun terakhir tidak bisa menanam padi akibat rusaknya saluran irigasi Aek Natonang-Lontung. Irigasi yang sebelumnya mengairi lebih dari 200 hektare sawah ini mengalami kerusakan parah pada bagian lining (pelapis beton), sehingga aliran air terputus total.
Saluran irigasi tersebut dibangun pada tahun anggaran 2014 dan menjadi andalan para petani dalam mengairi lahan pertanian. Namun, sejak mengalami kerusakan dua tahun lalu, belum ada langkah perbaikan serius dari pemerintah daerah maupun provinsi.
Menurut Tommy Nainggolan, tokoh masyarakat Desa Parbalohan, kerusakan tersebut berdampak langsung pada aktivitas pertanian warga. Selain Parbalohan dan Pardomuan, irigasi itu juga seharusnya mendistribusikan air hingga ke Desa Tanjungan melalui sistem pintu air yang terintegrasi.
“Sudah dua tahun kami tidak bisa menanam padi. Air dari Aek Natonang tidak mengalir karena lining rusak dan tidak diperbaiki. Sawah jadi kering, petani berhenti berproduksi,” kata Tommy, Jumat (19/7/2025).
Harapan sempat muncul ketika tim dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara datang melakukan survei ke lokasi pagi tadi. Namun, kata Tommy, hasil kunjungan itu justru menambah kekecewaan warga.
“Mereka datang, tapi setelah kami jelaskan bahwa lining sudah ambruk dan air tidak sampai ke sawah, mereka hanya bilang anggarannya cuma Rp90 juta. Mereka malah menyarankan agar proyeknya dipindahkan ke lokasi lain,” ungkapnya.
Menurut Tommy, sikap itu mencerminkan kurangnya kepedulian terhadap nasib petani lokal. Ia menilai, proyek infrastruktur pertanian seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.
“Kami tidak minta macam-macam. Ini soal kebutuhan dasar. Air irigasi untuk sawah. Kalau ini dibiarkan, dari mana petani hidup?” tegasnya.
Ia menambahkan, para petani sudah berulang kali mengusulkan perbaikan melalui kepala desa dan kelompok tani. Namun, belum ada tindak lanjut yang nyata selain survei singkat dari tim provinsi.
Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi irigasi rusak berat. Dinding beton roboh di berbagai titik, saluran tertimbun tanah, dan ditumbuhi rumput liar. Di bagian hilir, aliran air terputus sepenuhnya.
Sebagian petani mencoba beralih ke tanaman palawija seperti jagung dan singkong, tetapi hasilnya tidak mencukupi. Mereka pun sangat bergantung pada hujan yang tidak selalu turun tepat waktu.
“Kami tanam jagung dan ubi, tapi hasilnya sedikit. Tidak cukup untuk makan dan biaya sekolah anak,” keluh Maraden, seorang petani dari Pardomuan.
Sementara itu, aparat desa menyebutkan bahwa usulan perbaikan irigasi sudah diajukan lewat Musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten, namun tidak pernah direspons.
“Setiap tahun kami ajukan lewat Musrenbang, tapi tak pernah masuk program. Mungkin karena kami desa kecil,” ujar salah satu perangkat Desa Pardomuan.
Petani juga mempertanyakan mengapa anggaran Rp90 juta tidak digunakan untuk perbaikan bertahap daripada memindahkan proyek ke tempat lain.
“Kami heran, kenapa harus pindah lokasi? Bukankah lebih bijak memperbaiki yang sudah ada? Apa harus demo dulu supaya didengar?” tambah Tommy.
Kondisi ini menjadi ironi mengingat Samosir dikenal sebagai salah satu lumbung padi di kawasan Danau Toba. Jika infrastruktur pertanian terus dibiarkan rusak, ketahanan pangan daerah terancam.
Tommy dan warga berharap, Pemkab Samosir dan Pemprov Sumut segera mengambil langkah nyata memperbaiki irigasi tersebut.
“Jangan cuma datang foto-foto lalu pergi. Kami butuh perbaikan, bukan kunjungan seremonial. Ini soal perut rakyat,” pungkasnya. (PS)